Ditulis Oleh Zaldi Es
Jakarta - Meskipun Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang pemimpin politik dan tokoh pergerakan sosial dan keagamaan Islam ia sebenarnya mempunyai perhatian yang besar kepada dunia pendidikan. Keterkaitannya kepada bidang ini agaknya menjadi pendorong utama mengapa ia akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi selepas menyelesaikan jenjang pendidikan AMS di Bandung. Padahal Natsir mempunyai peluang untuk itu dengan beasiswa Pemerintah Hindia Belanda.


Keterlibatan Natsir dalam aktivitas pendidikan telah dimulai ketika ia aktif menjadi murid dan pengikut setiap Ustadz A Hasan di Bandung. Kemudian keterlibatannya yang intensif pada Organisasi Persatuan Islam. 

Di masa mudanya di samping berdakwah ia aktif menulis tentang pendidikan Islam. Ide dan gagasan tentang pendidikan ini kadang ditulisnya sendiri, dan kadang didiskusikan dengan teman-temannya. Setelah menamatkan pendidikan di Bandung Natsir memilih karier menjadi guru di lembaga "Pendidikan Islam". 

Tentu pekerjaan ini tidak banyak memberi kesejahteraan ekonomi bagi kehidupan pribadi dan keluarga. Bahkan, ia dan keluarga harus banyak berkorban demi menghidupkan sekolah agama yang didirikan di Bandung di zaman penjajahan itu.

Melalui pendidikan Islam itu Mohammad Natsir dan rekan-rekannya mulai merintis sistem pendidikan yang menjurus kepada tujuan yang dirumuskan olehnya. Semua ilmu dan pelajaran yang diberikan di sekolah Pemerintah Belanda juga diberikan dalam sekolah ini. Hanya saja di pendidikan Islam diterapkan agar murid-murid harus lebih aktif dari sekedar menghafal. Tidak pasif menampung dari guru saja sepreti beo. 

Pelajaran agama diberikan sebagai mata pelajaran wajib, bersembahyang Jumat di gedung sekolah bersama-sama, sering kali yang menjadi khatib adalah murid kelas tertinggi Kweekschool. Selain itu, pelajaran kerajinan tangan, berkebun, hingga piano juga diajarkan dalam pendidikan Islam. Dengan pelajaran tersebut Mohammad Natsir berharap akan menumbuhkan inisiatif dan timbul keberanian menciptakan sesuatu di kalangan murid-murid. 

Sementara untuk guru-guru diharapkan dapat mengetahui watak masing-masing murid. Belakangan lembaga pendidikan Islam yang didirikan di Bandung ini berkembang pesat. Sampai akhirnya memiliki beberapa cabang di Bogor, Cirebon, Jatinegara, Tanjung Priok, bahkan di pulau Bangka dan Kalimantan. 

Salah satu konsep pendidikan yang terkenal dari Mohammad Natsir adalah konsep pendidikan yang integral, harmonis, dan universal. Konsep ini lebih jelas ditekankan dalam ceramah Mohammad Natsir di ISC Yogya di tahun 1955. 

Konsep pendidikan tersebut beberapa di antaranya dipublikasikan dalam bentuk tulisan-tulisan di berbagai majalah dan surat kabar yang beredar saat itu, dan dalam konteks yang berbeda-beda. Di samping itu juga diceramahkan. 

Selain daripada itu konsep pendidikan tersebut merupakan reaksi serta refleksi Mohammad Natsir terhadap kenyataan historis-sosiologis yang ditemui di tengah Masyumi. Konsep itu sendiri secara empiris ternyata tidak ditemukan dalam masyarakat Islam di mana-mana. Tidak sesuai dengan konsep pendidikan ideal yang oleh Mohammad Natsir sendiri disebut sebagai "Islamietisch Paedagogisch Ideal".

Kondisi yang dimaksud tersebut menurutnya merupakan akibat dunia Islam sekian lama berada dalam alam kegelapan karena didominasi oleh pemikiran tasawuf dan berada di dalam penjajahan Barat selama berabad-abad. Tak heran apabila konsep pendidikan yang diterapkan oleh sekolah-sekolah pada waktu itu, baik sekolah pesantren maupun sekolah milik Pemerintah Belanda, adalah konsep pendidikan yang parakoial, diferensial, dikotomisi, dan disharmonis. Bukan konsep yang universal, integral, dan harmonis. 

Dampak dari penjajahan kebudayaan yang dilakukan oleh penjajahan Barat dirasakan juga membawa kebiasaan dalam umat Islam untuk berpikir secara antagonistik. Yakni dengan membuat garis demarkasi yang cukup jelas antara pendidikan umum dengan pendidikan agama yang diwakili dalam sistem sekolah madrasah atau pesantren. Bahkan dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini berlanjut sampai sekarang. 

Antagonisme dikotomi yang semacam inilah yang dihadapi oleh Mohammad Natsir tahun 1920-an, dan yang mendorong beliau mengambil keputusan "nekad" yaitu tidak meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi. Walau memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan Rschtshogeschool di Betawi atau ke Sekolah Tinggi di negeri Belanda dengan beasiswa. Ia lebih memilih menjadi jurnalis di "Pembela Islam" dan menyuarakan ide-ide atau konsep-konsep pendidikan idealnya. 

Dan tiga tahun kemudian, 1932, Mohammad Natsir membuka sebuah kursus sore yang menjadi janin lembaga pendidikan Islam seperti yang dicita-citakannya. Dalam pendidikan Islam ini Mohammad Natsir menggabungkan dua sistem, yaitu sekolah yang bernafaskan Islam dengan "cita pendidikan yang Islami" dengan sistem kurikulum dan manajemen Modern (Barat).

Lebih jauh tentang konsep pendidikan yang integral Mohammad Natsir dalam
tulisan-tulisannya di Panji Islam dan Pedoman Masyarakat sejak tahun 1938 maupun melalui ceramah-ceramahnya jelas menggambarkan pergulatan yang diakibatkan oleh adanya dualisme dan dikotomi dari sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, khususnya di Indonesia. 

Sering kali pula kenyataan ada yang menganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan Timur. Didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam. Boleh jadi, ini reaksi terhadap didikan "kebaratan" yang ada di negeri kita, yang memang sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam. Akan tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya: "apakah sudah boleh kita katakan bahwa Islam itu anti-Barat dan pro-Timur, khususnya dalam pendidikan!"

Mohammad Natsir menekankan bahwa memang tidak ada dikotomi antara "pendidikan agama" dengan "pendidikan umum". Sebagai dua jenis kelembagaan pendidikan dengan menekankan kurikulum yang berbeda sebagaimana yang telah berjalan sejak zaman penjajahan Belanda dahulu. 

Baginya yang memandang Islam dengan visi seorang modernis yang tidak mempertentangkan "dunia" dengan "akhirat". Maka semua jenis pendidikan itu hendaklah bertumpu kepada suatu dasar maupun tujuan tertentu. 

Konsepsi pendidikan yang integral, universal, dan harmonis dalam pandangannya tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum sehingga mewujudkan adanya keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya adalah agama. Apa pun bidang dan disiplin ilmu yang dimasukinya. 

Rulli Nasrullah
Jalan Pancawarga I No 2 RT 03/01 
Cipinang Besar Selatan Jakarta Timur
kangarul@gmail.com
08128749407
0 Responses

Posting Komentar